Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur,  yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini  juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan  sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda  (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang  (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.  Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan  untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah  pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian  juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia  Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.
Periode I: 1945 - 1946 
Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945)
Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta  atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden  dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima  kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya. Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai  mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur  pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap  langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh  dan abadi.. 
Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti  dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara  rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak  oleh Soekarno karena  bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari  sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan  Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo  sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.  Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi  kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan. 
Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (September 1945)
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya  juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit  monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu  akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan  Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia. 
Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946)
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
- Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya  wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing  kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.  Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi  Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang  punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950. 
Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946)
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945  dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus  Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII  mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.  Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan  memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama  lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan  sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan  bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya  ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua  Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah  Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu,  berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang  saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya  (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan  Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan  benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya  persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946  dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi  yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang  untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui  Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur  tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu). 
Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946)
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID  juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok  Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai  karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta  menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki,  yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang  terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut  adalah:
- Kedudukan Yogyakarta
- Kekuasaan Pemerintahan
- Kedudukan kedua raja
- Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan)
- Pemilihan Parlemen
- Keuangan
- Dewan Pertimbangan
- Perubahan
- Aturan Peralihan
- Aturan Tambahan   
Periode II:1946 - 1950 
Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946)
Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946. Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat  Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA  VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18 ). Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946.  Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan  digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat.  Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18  yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta  tersebut.
Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta  digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman  dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada  sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan  Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah  (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman). Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki  yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu  tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat  dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak  ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan,  dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. 
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD  (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai  dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif  dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala  Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan  Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.  Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau  direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang  melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk  persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan  Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada  DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD,  melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkapMaklumat Yogyakarta No. 18 ).
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di  Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan  Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan.  Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing  tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum  diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota. 
Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950)
Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947. Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan 
Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946  Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta  dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah  Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX
[6]. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota 
Haminte-Kota  Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan  Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang  turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.
 
UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949)Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah  dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah.  Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik  dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948  yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi  lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai  Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda. Pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949,  Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer  Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.
Periode III: 1950 - 1965 
Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951)
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB,  Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia  yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian  dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950. 
Pembentukan DIY (1950)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950 DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950  (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950  (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950   (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa  Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar  kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota,  jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya  adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950  yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan  Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur  dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan  secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B  U K A N sebuah Propinsi.  Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi  hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan  wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY  bukan pula sebuah monarki konstitusional. 
Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951 Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950  (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950  (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950  (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribukota Bantul), Sleman (beribukota Sleman), Gunung Kidul (beribukota Wonosari), Kulon Progo (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota Wates),  dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951,  kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon  Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu  kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951   (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan  Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948. 
Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an) 
Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)
Pada tahun 1951  Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia.  Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah  Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak  secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih  partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP.  Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan  Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan  dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa,  selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja  (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung  jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden. 
Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY(1950an)
Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota.  Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi  DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY  sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem). Sementara wilayah Mancanegara,  yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil,  menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya  cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga  wilayah-wilayah: Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri  Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji  cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah  resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada  kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran  tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K  A N merupakan monarki konstitusi.
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX.  Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak  dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan  dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi. Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem)  tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik  dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal.  Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono. 
Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965) 
Implementasi UUDS 1950 (1957-1965)
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur  dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini  diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun penjelasannya.  Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang  pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan  sebelumnya (UU 22/1948).  Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang  melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai  'metamorfosis' abdidalem kepatihan yang sejak semula menjadi  tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang  memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang  menghendaki hapusnya pamong praja. 
Penyatuan Wilayah (1957-1958)
Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan  Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24  September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri (milik Kasunanan), Kota Gede (juga milik Kasunanan), dan Ngawen (milik Mangkunagaran) dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan  ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten  yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan  enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957  (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958  (LN 1958 No. 33, TLN 1562). 
Pasca Dekrit Presiden (1959-1965)
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda.  Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional,  praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
Periode IV: 1965-1998 
Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974)
Tanggal 1 September 1965, sebulan sebelum terjadi G30S/PKI, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi  (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode  III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik  secara de facto maupun de jure yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari.  Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah  selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur. 
Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998)
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia.  Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu  pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan  tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No.  5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di  sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.  Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama  dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah  Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan  Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi Abdi Dalem Keprajan (lihat periode I dan III di atas).
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala  Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun  1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode  1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan  istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai  dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini  tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980. 
Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998)
Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I Prov. DIY
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai  Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika  Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai  Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan Hamengku Buwono X (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (former president) Presiden Soeharto,  Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah  maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk  mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI  (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk  menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa  bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan  masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung.  Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada  tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil  Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama  (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Periode V: 1998-sekarang (2008) 
Penyelenggaraan Pemerintahan DIY Pada Masa Peralihan (1998-sekarang[2008]) 
Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998)
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan  Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara  Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro  Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh  kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur  jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh  Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah  suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai  Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan  1998-2003.
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan  bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka  Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah  Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka Paku Alam IX naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. 
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004)
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No.  22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur  masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya.
Pada tahun 2000, MPR  RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status  daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan  suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.  
Pengusulan RUU Keistimewaan (2002)
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua dengan dikembalikan lagi ke daerah.  Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing  dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah  Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151). 
Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003)
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di  tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan  pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat  menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi  Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA  IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan  2003-2008.  
Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2008])
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No  32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status  keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur  secara khusus seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI Jakarta, dan Papua.  Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY  diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut.  Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua,  Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah  Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi  Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu  dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya. 
Peristiwa-Peristiwa terkini 
Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X
Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada 7 April 2007, Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah  lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada  intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa  jabatannya selesai tahun 2008.
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi  (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak  perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton  harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran  daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di  Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo  Santoso pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Bagi Roy Suryo  pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X  merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut.  Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry  Zudianto (Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul  siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang  pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap  bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan  Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan.
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk  tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar  40.000 warga Yogyakarta. 
Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 13 April 2007  menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh  kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada  responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh  Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat  ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat  yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement  dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur  DIY dipilih secara langsung.
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas  pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi  masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran.  Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih  menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh  keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata  (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada  April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang  berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%)  disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya  32,2%).
Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat  (7,6%). 
RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008)
Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I  Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi  (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi.  Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP)  FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan  hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo, tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi.  Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya  sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu  kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR, namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham.  Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU  Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.  RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret  2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah  diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas.  Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan  maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008  sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang  Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya  dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat  Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi  masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK)  yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat.  Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa.  Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca:  kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu  liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat  untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April  2008.  Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus  (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan  tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau  utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008.
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat  mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam  IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun  substansi RUUK belum selesai dirumuskan.  Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal  usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah,  juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945,  posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton  akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa  muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat  diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat.  Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan  tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat  Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan  catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara  lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku  Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur  DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY.
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas.  Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga  keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU  Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai  draf yang ada.  
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat  dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta &  Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno  sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940;  Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam  VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30  Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949;  Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945;  Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga  hal : Pertama, Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan  Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya  mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia  terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende-landschappen &  volks-gemeenschappen serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam  proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi  Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan  Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia; Kedua, Istimewa dalam  hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari  penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah  setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah  Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat  30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950); Ketiga, Istimewa  dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat  oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam  Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang  bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama,  gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai  dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut -  larut disebabkan oleh : Pertama, manuver politik terkait konvensi  pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10)  serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya  pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan  melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak  bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya  berakhir 2008 (radar jogja, 29/9/10); Kedua, setiap produk undang -  undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU  5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur  dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh  Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat  UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2); Ketiga,  pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar  oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA  VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno &  Hatta) maupun oleh masyarakat luas; Keempat, ketidak pahaman para  penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata  pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara  menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana  disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara  yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat &  pemerintahan NKRI; Kelima, perpindahan orientasi politik atau mazhab  politik berdirinya negara dengan Sistim Continental menjadi Anglo Saxon  dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistim  & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya  amandemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh  UU No. 10/1985 dan perubahan sistim demokrasi dari Kerakyatan yang  dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan  menjadi sistim pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini  lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam  telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila; Keenam, proses  demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan  berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi  demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan  detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung  karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan &  Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil  pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden),  sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas  pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana walikota,  bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai  amandemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
Daftar Bacaan
 Buku
- Selosoemardjan, ed (1962). Social Changes in Jogjakarta. New York: Cornell University Press. 
- A. Ariobimo Nusantara, ed (1999). Sri Sultan Hamengku Buwono X: meneguhkan tahta untuk rakyat. Jakarta: Grasindo. ISBN 979-669-570-7. 
- P.J. Suwarno (1994). Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius. ISBN 979-497-123-5. 
- Saafroedin Bahar et. al., ed (1993). Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: Sekretariat Negara RI. ISBN 979-8300-00-9. 
- Soedarisman Poerwokoeoemo (1984). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 
- Heru Wahyukismoyo (2004). Keistimewaan jogja vs Demokratisasi. Bayu Indra Grafika, Yogyakarta. ISBN 979-8680-73-X. 
- Heru Wahyukismoyo (2008). Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta. ISBN 978-979-18850-0-3 
Peraturan Perundang-undangan- UUD 1945 pertama (sebelum perubahan) dan UUD 1945 kedua (setelah perubahan)
- Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan DIY Beserta  Kabupaten dan Kota dalam Lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU  16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957;  UU 14/1958).
- Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah (UU  22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999;  dan UU 32/2004).
Surat Kabar Harian- Achiel Suyanto. (2007) "Keistimewaan DIY dalam Tinjauan Sosio-Yuridis" Kedaulatan Rakyat (19 April 2007).
- HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 [Sultan HB X Soal Kepemimpinan; Jangan Ada Dualisme di DIY]
- HB X (2007) "Berbaktibagi Ibu Pertiwi". Kedaulatan Rakyat (9 April 2007).
- Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
- Joyokusumo (2007) "Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY (tulisan bersambung)" Kedaulatan Rakyat(23,24,26 Februari 2007).
- Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
- Kedaulatan Rakyat 05 Juni 2007 [Draft RUUK DIY Tak Minta Status Keistimewaan; Joyokusumo Tolak Konsep JIP].
- Kedaulatan Rakyat 09 April 2007 [Rakyat Bantul Siap Gelar ‘Pisowanan Agung’].
- Kedaulatan Rakyat 19 April 2007 [Jika Untuk Jabatan Lebih Tinggi Rakyat Dukung Langkah Sultan].
- Kedaulatan Rakyat 20 September 2007 [Hari Ini DPD Sahkan RUUK DIY ; Gubernur/Wagub DIY Dipilih Langsung].
- Kedaulatan Rakyat 22 September 2007 [Banyaknya Draft RUUK DIY; Memperkaya Materi Pembahasan].
- Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 [Sekjen Depdagri Pastikan : Pilkada DIY 2008 Gunakan UUK].
- Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008 [Jika Tak Sesuai Aspirasi; 'Sidang Rakyat' Tolak RUUK DIY]
- Kedaulatan Rakyat 11 April 2008 [DPRD Gelar Rapur Soal Jabatan Gubernur; PKS Bersiap Hadapi Pilgub]
- Kedaulatan Rakyat 24 April 2008 [DPRD DIY Bentuk Pansus Keistimewaan: Depdagri kirim Tim Pemantau Rapor]
- Kedaulatan Rakyat 28 April 2008 [KR GROUP PEROLEH PENGHARGAAN; Ribuan Warga Bantul Aksi ke DPR]
- Kedaulatan Rakyat 02 Juni 2008 [Pansus RUU Keistimewaan DIY Diperpanjang]
- Kedaulatan Rakyat 07 Juni 2008 [Sultan Tegaskan Bukan Kandidat Presiden; Kraton Tolak Bicara Materi RUUK]
- Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008 [Demokrasi DIY Beda dengan Amerika; Draf RUUK DIY Masih Ditahan Setneg]
- Kedaulatan Rakyat 21 Agustus 2008 [Presiden Serahkan Draf RUUK DIY ke DPR]
- Kedaulatan Rakyat 2 September 2008 [Kecewa Pada konsep Sebelumnya 'KRATON AJUKAN DRAF RUUK DIY]
- Kedaulatan Rakyat 4 September 2008 [DRAF RUUK DIY USULAN KELUARGA KRATON ; Sultan Tak Tahu Materinya]
- Kompas 09 April 2007 [Posisi Sultan Harus di Atas Gubernur].
- Kompas 19 April 2007 [Sultan Akan Ke Kancah Nasional : penolakan jadi gubernur lagi merupakan hasil pergulatan panjang].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007A [Pernyataan Sultan, Sentilan bagi Masyarakat].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007B [Ulang Tahun Ngarso Dalem yang Sarat Makna].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007C [“Saya Merasa Terharu dan Bangga”].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 10 April 2007 [DPD akan menjaring aspirasi ke masyarakat].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 19 April 2007 [Indikator Kompas: Lebih Setuju Gubernur Dijabat Kalangan Keraton].
- Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 20 April 2007 [Indikator Kompas: Fakta Sejarah Boboti Keistimewaan DIY].
Draf RUU Keistimewaan DIY- (id) Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Pemerintah/Depdagri (?)  file pdf (klik Data Baru atau Rancangan Peraturan lalu cari artikel RUU  ttg Keistimewaan Prov. DI Yogyakarta atau RUU tentang Keistimewaan  Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
- (id) Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Usulan Pemprov DIY tahun 2001 (?)  (klik Produk Hukum lalu cari artikel Rancangan Undang-Undang Republik  Indonesia Tentang Otonomi Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta  dan Naskah Akademik Rancangan Undang-Udang Tentang Keistimewaan  Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
- (id) Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM 10062007(?)  file pdf. Naskah Akademik dari RUU versi Jurusan Ilmu Pemerintahan  diterbitkan dalam bentuk Monograf oleh Program S2 Politik Lokal dan  Otonomi Daerah UGM.
Sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Daerah_Istimewa_Yogyakarta